Korupsi ilang, wani piro? Itulah kata yang sering
kita dengar di televisi pada suatu iklan salah satu brand rokok di Indonesia.
Pada iklan tersebut digamarkan seseorang yang sedang melamar pekerjaan akan
tetapi ditolak karena korupsi, kolusi dan nepotisme. Kemudian ketika ia hendak
pulang, di tengah perjalanannya ia tidak sengaja bertemu dengan sosok jin,
kemudian jin tersebut memberikan satu buah permintaan pada orang tersebut. Dan
orang tersebut meminta kepada jin tersebut agar menghilangkan kasus korupsi,
kolusi dan nepotisme di Indonesia. Namun apa jawaban dari jin tersebut, jin
tersebut menjawab, “Korupsi ilang, wani piro?” Pada iklan ini digambarka bahwa
begitu sulitnya menghilangkan budaya korupsi di Indonesia, bahkan sampai pada
kalangan jin di Indonesia pun melakukan hal tersebut, yang menunjukan bahwa untuk
menghilangkan korupsi pun memerlukan korupsi itu sendiri. Jadi, akan sangat
sulit untuk lepas dari kata korupsi itu.
Kemudian masih pada brand yang sama, juga membuat
suatu iklan yang menyinggung masalah korupsi, kolusi dan nepotisme, namun pada
iklan kali ini konsepnya berbeda. Kali ini dengan konsep pertunjukan sulap,
masih dengan tokoh yang sama yaitu jin. Sang jin menunjukan aksinya yaitu
menghilangkan setumpuk kertas. Kemudian sang jin berkata, “Kasus korupsi,
ilang.” Dan semua penonton bersorak-sorak bahkan ada yang bersorak
“Ajaib-ajaib.” Yang menggambarkan bahwa jika kasus korupsi di Indonesia sampai
benar-benar bisa hilang, itu merupakan suatu hal ajib, hal ajaib biasanya
identik dengan hal yang tidak mungkin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kasus korupsi di Indonesia tidak akan pernah bisa hilang, bahkan sudah menjadi
semacam tradisi atau kebiasaan pada masyarakat Indonesia. Yang mana tradisi,
kebiasaan dan adat istiadat merupakan bagian dari budaya, maka dari itu ada
istilah budaya korupsi di Indonesia. Yang mana korupsi itu dianggap sudah menjadi
budaya bangsa Indonesia karena korupsi di Indonesia sudah secara turun temurun,
dari generasi ke generasi berikutnya akan selalu ada kasus korupsi di
Indonesia. Korupsi itu sendiri merupakan budaya yang negatif, maka perlu untuk diberantas
dari masyarakat Indonesia.
Memberantas
Budaya Korupsi di Indonesia
Untuk menghilangkan sesuatu, tentu yang harus kita
lakukan adalah mengetahui sebab-sebab mengapa sesuatu itu ada. Begitu juga dengan
korupsi, kita harus tahu mengapa korupsi itu ada atau dengan kata lain mengapa
oknum atau seseorang yang mempunyai wewenang itu menyalah gunakan untuk
melakukan tindakan korupsi. Tindakan korupsi dipengaruhi oleh banyak factor,
salah satunya adalah sikap koruptif masyarakat Indonesia sendiri. Sikap
koruptif ini sendiri nampaknya sudah sangat melekat pada msayarakat Indonesia. Sikap
korupsi ini bisa berupa korupsi waktu. Korupsi waktu ini bisa kita perhatikan
saat rapat, saat kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah maupun di perguruan
tinggi, saat ada acara tertentu semacam tasyakuran atau yang lain, semua pasti
terulur-ulur waktunya, saat rapat banyak anggota yang telat datang pada rapat,
bahkan tidak hanya anggotanya saja yang terlambat, malah terkadang orang dengan
posisi yang urgent itu turut terlambat menghadiri rapat. Kemudian pada saat
kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah, banyak siswa yang telat dan
ironisnya bukan hanya siswanya yang telat, tapi banyak guru atau tenaga
pendidik yang datang terlambat dengan alasan ini dan itu menyangkut kepentingan
pribadinya. Tidak hanya korupsi waktu yang menunjukan sikap koruptif masyarakat
Indonesia. Sikap koruptif masyarakat Indonesia juga bisa digambarkan dengan
siswa ataupun mahasiswa yang masih rajin mencontek. Ia berorientasi pada
nilainya, yang berarti dia mementingkan dirinya untuk mendapatkan nilai yang
baik apapun caranya. Ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang
baik, meskipun dengan cara mencontek. Sangat ironis bukan ketika siswa atau
mahasiswa mengembor-gemborkan kata “Koruptor hukum mati.” Namun ia tetap saja
mencontek. Dan ketika ia ditanya siapkah untuk tidak mencontek, semua diam,
yang mana itu menunjukan bahwa ia tidak siap untuk tidak mencontek. Dan ini
sama saja meminta orang lain untuk tidak korupsi, tapi ia sendiri malah
korupsi. Jika dikembalikan pada konteks korupsi yang sebenarnya, memang itu
tidak bisa dikatakan sebagai koruptor atau orang yang melakukan korupsi, karena
korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (Sumber:
KBBI Online) Namun demikian, jika kita kaitkan dengan kepribadian koruptor
yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, kemudian
ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hal yang ingin dicapainya, maka
tidak akan jauh beda dengan guru atau tenaga pendidik yang datang terlambat, ia
mementingkan kepentingan pribadinya daripada kepentinga umum atau kepentingan
para siswa, begitu juga dengan siswa yang mencontek saat mengerjakan tugas,
atau saat mengerjakan ujian. Ia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
nilai yang baik, ia tidak memperhatikan resiko yang akan ditanggung temannya
yang diconteki, bisa nilainya dibagi dua jika ketahuan atau bahkan bisa juga
sama sekali tidak diberi nilai. Hal ini sama dengan koruptor yang tidak
memperhatikan resiko yang akan dihadapi negara dan rakyat, rakyat akan sengsara
dan negara akan merugi dalam jumlah yang besar, ia hanya peduli pada dirinya
sendiri, yang ia prioritaskan adalah kepentingannya bisa tercapai. Sikap
koruptif seperti inilah yang harus sejak awal diberantas.
Memberantas
Sikap Koruptif Masyarakat Indonesia
Seperti yang sudah kita bahas di atas, bahwa salah
satu penyebab terus menerus adanya tindakan korupsi di Indonesia adalah sikap
koruptif bangsa Indonesia itu sendiri yang mana seakan-akan itu sudah sangat
melekat dengan masyarakat Indonesia yang seolah-olah bahwa itu sudah tidak bisa
dipisahkan lagi dari kepribadian bangsa Indonesia yang memiliki sikap koruptif
itu. Di sini peran pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan karakter sangat
penting. Pada pendidikan kewarganegaraan ini, siswa akan diajarkan tenang
kewarganegaraan itu sendiri diantaranya adalah hak dan kewajiban warga negara,
tentang dasar-dasar negara, wawasan nusantara dan lain sebagainya. Selain itu
dalam pendidikan kewarganegaraan juga diharapkan akan membentuk
generasi-generasi penerus yang benar-benar memiliki kecintaan terhadap
Indonesia, sehingga manakala ia menjabat suatu pemimpin nanti ia tidak akan
melakukan tindakan-tindakan yang merugikan negara. Disamping itu, pendidikan kewarganegaraan juga menanamkan nilai-nilai moral yang baik,
yang akan menjadikan seseorang lebih baik dari segi moralitasnya. Yang
diharapkan akan membentuk karakter generasi penerus menjadi lebih baik. Karena
apa dalam pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan karakter ini ditanamkan
kepada siswa nilai-nilai moral, agama, dan karakter antikorupsi. Karakter anti
korupsi dalam dunia pendidikan bisa diwujudkan dengan penanaman sikap anti
mencontek, anti terlambat, anti tidak mentaati aturan sekolah dan lain
sebagainya berkaitan dengan hal yang negatif di sekolah. Memang dengan
mencontek siswa bukan berarti korupsi, tapi dengan mencontek siswa berarti
telah melakukan sikap korupsi atau perilaku yang mencerminkan perilaku
koruptif. Namun sampai saat ini sepertinya pendidikan kewarganegaraan dan
pendidikan karakter masih kurang begitu efektif untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Bahkan untuk memberantas perilaku koruptif di dunia pendidikan itu sendiri saja
masih kurang efektif. Meskipun sudah ditanamkan, sudah diberikan pengertian
tentang nilai-nilai moral, agama, dan sikap anti mencontek dan lain-lain, tapi
masih banyak sekali siswa yang tetap saja mencontek, masih banyak sekali siswa
yang terlambat, masih banyak sekali siswa yang tidak mentaati peraturan
sekolah. Jika sikap koruptif seperti ini belum bisa terpecahkan, maka sampai
kapanpun korupsi di Indonesia tidak akan pernah hilang. Karena
generasi-generasi dengan sikap koruptif seperti itu juga akan menghasilkan
calon-calon koruptor masa depan. Ini yang masih perlu kita benahi.
Selama ini, pelajaran pendidikan kewarganegaraan
menjadi pelajaran yang kurang disukai oleh para siswa, entah karena
pelajarannya yang memang membosankan, atau bisa juga cara penyampaiannya yang
kurang menarik sehingga siswa terkesan enggan untuk mengikuti pelajaran
pendidikan kewarganegaraan dengan serius. Kemudian masalah pendidikan karakter
juga belum benar-benar diterapkan dengan baik. Contoh saja ketika guru atau
tenaga pendidik menggembor-gemborkan kepada siswa agar tidak terlambat sekolah,
namun sangat ironis guru tersebut malah terlambat datang ke sekolah dengan
alasan ini itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Kemudian guru memerintahkan
siswa untuk tidak mencontek, namun ketika siswa mencontek guru membiarkan saja
dan tidak ada sanksi yang tegas kepada pelaku pencontekan itu. Sehingga siswa
merasa biasa saja ketika ia ketahuan mencontek. Adapun missal siswa tidak
diberi sangsi berupa sangsi yang berhubungan dengan fisik, siswa bisa diberi
sangsi yang berhubungan dengan akademik. Misalkan saja siswa diberi tugas
tambahan untuk menari suatu artikel dan meresumnya atau denga diberi tugas
tambahan dengan memberinya pekerjaan rumah yang mana itu boleh ia diskusikan
dengan temannya. Sehingga jika suatu saat menjumpai soal yang sama, siswa yang
tadi mencontek bisa mengerjakan secara mandiri. Selain dengan memberikan sangsi
demikian, guru juga harus mengadakan pembicaraan secara intensif dengan siswa
yang menontek, jika perlu didatangkan orang tuanya dan dijelaskan bahwa anak
ini telah mencontek, mungkin itu bisa sedikit membuat siswa jera untuk
mencontek. Yang membuat siswa tidak jera-jera dalam melakukan pencontekan
adalah sangsi yang kurang tegas terhadap tindak pencontekan itu. Tidak hanya
dalam konteks mencontek sebenarnya, akan tetapi juga dalam konteks keterlambatan
dan pelanggaran tata tertib sekolah yang lain. Dalam konteks mencontek ini, ada
salah satu penyebab mengapa siswa melakukan penontekan. Yaitu orientasi siswa
masih pada nilai, jadi siswa berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat nilai
baik, entah apapun caranya, entah ia benar-benar paham dengan materi yang
diujikan atau tidak, yang siswa ingin kejar adalah nilai bukan ilmu.
Cara paing efektif untuk mengubah orientasi siswa
ini adalah dengan mengubah mindset siswa itu sendiri. Mindset siswa harus
diatur sedemikian rupa agar tidak lagi berorientasi pada nilai, tapi kembali
pada ilmu yang akan ia peroleh, karena jika siswa telah menguasai banyak ilmu
yang diajarkan, nilai siswa tentu akan mengikuti sesuai dengan ilmu yang siswa
kuasai yaitu akan baik pula. Akan tetapi jika siswa masih berorientasi pada
nilai, maka ilmu belum tentu akan mengikuti nilainya. Siswa yang mendapat nilai
seratus karena mencontek, belum tentu lebih pintar daripada siswa yang mendapat
enam puluh dengan hasil kerjanya sendiri. Selain dengan mengubah mindset
parasiswa, penanaman nilai-nilai religious dan moral juga perlu dilakukan
terhadap siswa. Penanaman nilai-nilai moral bisa disampaikan pada pelajaran apa
saja dalam dunia pendidikan di Indonesia, namun yang paling utama adalah pada
pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama, baik agama islam agama kristen
maupun agama yang lain, di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang baik.
Dalam pendidikan agama islam, tidak hanya
nilai-nilai moral yang disampaikan kepada siswa, akan tetapi juga penerapan
ajaran-ajaran tentang akhlak, keimanan dan lain-lain. Yang mana dengan
pelajaran pendidikan agama islam ini dihrapkan bisa memperkuat iman para siswa,
dengan iman yang kuat tentu ia akan semakin menyadari bahwa apa-apa yang akan
ia lakukan adalah mendapat pengawasan dari Tuhan Yang Maha Esa yaitu Allah SWT.
Selain mendapat pengawasan, ia juga akan semakin menyadari bahwa akan ada
kehidupan lain setelah kehidupan di dunia ini, yaitu kehidupan akhirat,
kehidupan yang abadi dan tiada akhir, sehingga di dunia ini ia memfokuskan
untuk membaguskan akhlaknya. Dengan akhlak yang bagus itu, tentu ia tidak akan
melakukan tindakan korupsi, karena korupsi sama saja dengan mencuri, dan
mencuri adalah perbuatan yang dilarang oleh agama.
Tidak hanya itu yang bisa dunia pendidikan lakukan
untuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam sekolah-sekolah juga bisa
diadakan seminar-seminar atau workshop tentang korupsi. Sehingga siswa sejak
dini sudah menyadari tentang bahaya sikap koruptif yang siswa lakukan terhadap
bangsa Indonesia. Karena sikap koruptif itu akan membentuk kader-kader koruptor
yang siap untuk berkorupsi manakala ia mendapat wewenang untuk memegang suatu
jabatan tertentu. Namun sayang, selama ini di sekolah-sekolah masih jarang
sekali diadakan hal-hal yang semacam itu, seminar-seminar dan workshop tentang
pentingnya memberantas budaya korupsi baru diadakan di dunia pendidikan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar